SEJARAH TASAWUF #17

Jelas hingga abad 12 M Tasawuf sudah makin kokoh dalam peradaban Islam seiring dengan berkembangnya tarekat-tarekat besar seperti Qadiriyyah, Naqsyabandiyyah, Suhrawardiyyah dan Chistiyyah (yg telah diuraikan di bagian-bagian tedahulu). Dari satu sisi, dapat dikatakan bahwa perkembangan spiritualitas Islam ini merupakan “kehendak Ilahi” untuk menjaga agar ruh Islam tetap hidup.

Sebagaimana kita tahu, serbuan Mongol yang dahsyat telah meruntuhkan sebagian besar kekhalifahan di Baghdad, pusat peradaban Islam saat itu. Kemegahan dan kejayaan peradaban Islam serta kemewahan duniawi yang diraih oleh para khalifah Islam pada masa itu justru menyebabkan inti ajaran Islam terabaikan oleh penguasa. Para khalifah dan pejabat-pejabat sibuk memperkaya diri dan memperebutkan kekuasaan, yg menyebabkan kekhalifahan menjadi lemah. Meski berprestasi di bidang lain, seperti ilmu pengetahuan dan seni/budaya, ekonomi dan sosial-kemasyarakatan, prestasi-prestasi itu justru menyebabkan para penguasa Islam menjadi lupa pada sisi keruhanian. Untungnya masih banyak Wali Allah yg dengan caranya sendiri menjaga landasan utama bangunan Islam secara keseluruhan, sehingga meski peradaban lahiriah Islam luluh berantakan,namun potensi kekuatan Islam yg sesungguhnya tetap dijaga dengan kokoh oleh para Sufi, Wali Allah dan mursyid-mursyid tarekat. Tanpa mereka, barangkali masyarakat Islam pada umumnya akan lupa landasan eksistensi semesta yg sejati, yakni alam keruhanian/spiritual.

tetapi kehancuran peradaban Islam ini tidak bisa dikatakan total, sebab runtuhnya kekuasaan Baghdad pada saat itu membuka peluang bangkitnya kerajaan-kerajaan ISlam lain di berbagai belahan dunia, seperti misalnya di kawasan India, yg telah diuraikan di bagian sebelumnya. Di Kawasan Maghribi, akhir dari dinasti al-Muwahiddun memberi kesempatan untuk bangkitnya dinasti baru. Di Timur, dinasti Ayyubiyyah mulai porak poranda, yang kemudian lahirlah Dinasti Mamluk. Penguasa Mamluk inilah yang mampu menghentikan upaya penaklukan MOngol ke wilayah Barat. Dan pusat kekhalifahanpun dipindah dari kawasan irak (yg dihancurkan Mongol pada 1258 M) ke wilayah Kairo, Mesir. Dibawah kekuasaan Mamluk ini di kawasan Timur berkembang pula tarekat-tarekat besar dan muncul Wali-Wali Agung yg pamornya tak kalah dengan para sufi dan Wali Allah di kawasan lain. Tokoh-tokoh yg cemerlang pada masa ini di antaranya adalah ABu Madyan, Ibn Arabi, Abdul Salam al-Masyisy, Ibn Sab’in, Al-Syustari, dan masih banyak lagi. JIka kita membaca sejarah tasawuf di kawasan Timur, maka kita tak bisa mengabaikan salah satu tarekat terbesar didunia yg lahir di sana, Syadziliyyah. Tarekat Syadziliyyah terus melahirkan syekh-syekh bear yang sebagian dari mereka bergerak mengembara ke seluruh wilayah Masyriq dan belahan lain di dunia ini dan memberi warna tersendiri bagi perkembangan tasawuf di seluruh peradaban Islam di dunia.

Boleh dikatakan tradisi Syadziliyyah berakar kuat dalam tradisi dari Syekh Qutub al-Awliya ABu Madyan yg sangat mewarnai tasawuf di benua Afrika. Salah satu murid Abu Madyan yang menjadi leluhur Tarekat Syadziliyyah adalah Abdul Salam al-Masyisy.

Tidak banyak catatan tentang kelahiran dan masa kecil Abdul Salam ibn Masyisy. Dalam salah satu riwayat beliau sudah menempuh jalan Tasawuf sejak masih kecil. Guru pertamanya adalah Syekh Abdur Rahman al-Madani az-Zayyat yang tinggal di Madinah. Selama pendidikan awalnya ini Syekh Abdus Salam Ibn Masyisy melakukan ibadah dengan tekun melebihi kemampuan murid-murid lainnya. Setiap malam beliau menjalankan shalat dan setiap selesai shalat, entah dari mana, beliau menemukan makanan sudah tersedia. Suatu malam beliau merasa curiga dengan asal-usul makanan ini, namun Syekh Abdur Rahman al Madani tiba-tiba muncul dan mengatakan, “Makanlah makanan ini, sebab engkau selalu dalam perlindungan Allah.” Kemudian beliau berguru kepada Wali Allah agung lainnya, Syekh ABU MADYAN, yang mempengaruhi hampir seluruh sufi wilayah Maghrib. Setelah puas mereguk ilmu agama dan Tasawuf dari Syekh Abu Madyan, beliau kembali ke negerinya.

Beliau mengabdikan diri untuk berdakwah. Keinginannya adalah menjaga kemurnian ajaran Islam di tengah-tengah suku Berber yang gemar pada praktik perdukunan dan sihir. Belakangan beliau kemudian mengundurkan diri di puncak gunung yang bernama Jabal ‘Alam, yang berada di kawasan Habt di Maghribi. Di sinilah kelak beliau bertemu dengan murid utamanya, yang juga penerus spiritualnya yang masyhur, Syekh Abu Hasan al-Syadzili. Syekh Abdus Salam meninggal di kawasan Magribi (Maroko) sekitar tahun 1228 M). Menurut salah satu riwayat beliau meninggal akibat dibunuh oleh seorang dari suku Berber yang membenci ajaran-ajaran Tasawuf. Beberapa lawannya menuduhnya sesat dan dianggap menganut paham Syi’ah.

Setidaknya ada tiga tema dasar dalam ajarannya: Kesatuan Wujud (wahdat al-wujud), yang menurutnya hanya bisa dipahami dan direalisasikan melalui zuhud; takut kepada Allah, yakni keyakinan bahwa Allah selalu mengawasi seseorang, dan karenanya seseorang harus berusaha melihat wajah-Nya dibalik segala sesuatu yang diciptakan-Nya; dan seorang salik (murid) baru bisa meninggalkan eksistensinya dan meleburkan sifat-sifatnya ke dalam sifat Allah setelah ia menenggelamkan diri dalam samudera Kesatuan. Syekh Abdus Salam Ibn Masyisy juga mengajarkan cinta Ilahi (mahabbah). Menurut beliau cinta datang dari Allah, yakni ketika Allah mengungkapkan pancaran Cahaya Keindahan dan Keagungan-Nya, maka seseorang akan jatuh dalam cinta ilahiah. Beliau menganjurkan para muridnya untuk mencintai Allah disertai dengan kesucian lahir dan batin. Karenanya beliau berpesan, “Hendaknya anda sekalian melazimkan thaharah (bersuci) dari segala dosa dan syirik; maka ketika anda berhadas, yakni terlena dalam keduniawian, cepat-cepatlah bersuci dari “kenajisan dunia,” dan setiap kali anda condong kepada syahwat, maka perbaikilah apa yang hampir menodai kesucian dan menggelincirkan dirimu.” Para salik hendaknya selalu berzikir, sampai ia mampu mereguk “minuman dengan piala-piala dari cahaya Jamal-Nya dan kesucian Jalal-Nya … regukan minuman (syarab al-mahabbah) akan menghasilkan percampuran Sifat Ilahi dengan sifat manusia, Cahaya dengan cahaya, Nama dengan nama …” Belaiu juga menyatakan bahwa rahasia pengetahuan terdalam (hakikat) ada dalam pengetahuan mengenai rahasia kosmis Nabi Muhammad, atau pengetahuan tentang Nur Muhammad, yang merupakan pokok azali dari alam semesta.

Salah satu warisan dari Ibn Masyiyi yg tersisa dan paling terkenal adalah shalawat susunan beliau yg diamalkan bukan hanya oleh pengikut tarekat Syadziliyyah namun juga para pengamal tasawuf pada umumnya. Dan Ibn Masyiyi pula yang meramalkan bahwa kelak muridnya, Abu Hasan al-Syadzili akan menjadi salah satu Sulthan al-Awliya pada zamannya.

Abu Hasan al-Syadzili dilahirkan di wilayah Ghumarah, dekat Ceuta yang sekarang berada di utara Maroko sekitar tahun 1197 M, saat Dinasti al-Muwahiddun mencapai titik nadirnya. Pada mulanya Syekh Syadzili dikenal sebagai ulama yg mahir berdebat. Namun kerinduannya akan nilai-nilai mistis/ruhani menyebabkan beliau mengembara mencari para syekh sufi sampai akhirnya bertemu dengan Wali Qutub Abdul Salam ibn Masyiyi. Pertemuan mereka mengandung ajaran simbolik yg sangat mendalam. Dikisahkan:

Ketika Abu Hasan menemuinya, Syekh Ibn Masyisy bertanya, “Apakah engkau sudah wudhu?” Abu Hasan menjawab, “Ya, sudah.” Tetapi Ibn Masyisy menukas, “Engkau tak bisa menemui kami dalam keadaan tak suci, kembalilah dan ambil wudhu.” Lalu Abu Hasan turun dari gunung dan memperbarui wudhunya, lalu mendaki lagi menemui Syekh Ibn Masyisy dan berharap kali ini diterima sebagai muridnya. Tetapi Syekh Ibn Masyisy mengatakan, “Sudah kukatakan engkau harus mensucikan dirimu dengan wudhu.” Sekali lagi Abu Hasan turun gunung sambil merenungi penolakan dari Syekh Ibn Masyisy itu. Kemudian beliau mendapat pemahaman dari ujian awal ini, dan beliau mengetahui makna terdalam dari wudhu ini. Kemudian beliau berlatih berwudhu secara hakiki, bukan hanya mengerjakan tertib wudhu lahiriah tetapi juga sekaligus mengosongkan dirinya dari segala hal yang beliau ketahui, atau yang dianggapnya tahu, mengosongkan diri dari semua hal yang pernah dipelajarinya dari guru-guru lainnya; beliau juga mengosongkan seluruh atribut, gambaran dan pendapat/opini yang diyakininya, sampai beliau merasakan kekosongan dalam dirinya, kekosongan yang siap untuk diisi sesuatu. Kini beliau sudah pasrah sepenuhnya kepada gurunya. Beliau mendaki gunung lagi dan kali ini disambut oleh Syekh Ibn Masyisy.

Atas perintah sang guru, Imam Abu Hasan Syadzili membangun sebuah zawiyah (tempat latihan suluk) di Tunisia pada 1228 M, berbarengan dengan datangnya Abu Zakariyya, yg kelak menjadi penguasa Dinasti Hafshiyyah. Tarekat baru yg didiirikan oleh Imam Abu Hasan Syadzili ini sangat sukses dan menarik anggota dari segala lapisan masyarakat. Namun kepopulerannya menyebabkan banyak ulama lain merasa iri. Di masa tuanya, penguasa Ayyubiyah di Mesir mewakafkan tanah yg luas kepada Imam Abu Hasan di Alexandria. Karena terus-menerus diganggu oleh ulama fiqih dan ulama nonsufi, maka beliau kemudian hijrah ke Mesir, ke Alexandria. Di Mesir, banyak petinggi istana yang menjadi murid dari Abu Hasan Syadzili. Menjelang hari tuanya, Syekh Abu Hasan Syadzili mengalami kebutaan. Meskipun buta, beliau tak tinggal diam ketika tentara salib mencoba merangsek ke Alexandria. Dengan caranya sendiri, beliau ikut dalam pertempuran di al-Manshurah, Mesir, dan berhasil menghalau pasukan Salib VII yg dipimpin oleh Santo Louis dari Perancis.

Imam Abu Hasan Syadzili meninggalkan warisan pengetahuan dan amalan yg sangat berharga. Yg terkenal di antaranya adalah Hizb Bahr (yg diilhamkan oleh Allah kepadanya saat beliau menyebrangi laut merah saat hendak menunaikan ibadah haji) atau Hizb al-Anwar. Lebih dari selusin hizib susunan beliau menjadi sangat termasyhur dan diberi syarah (penjelasan) oleh para syekh sufi di seluruh dunia. Dalam hubungannya dengan fungsi hizib sebagai amalam untuk mengkonsentrasikan pikiran pada Tuhan, beliau melengkapinya dengan dawa’ir (jamak dari da’irah, lingkaran), semacam perlambgan geometris, umumnya berbentuk lingkaran atau persefi yg memuat ayat-ayat Al-Qur’an atau asma al-husna atau nama-nama malaikat, yg kadang-kadang difungsikan sebagai semacam “jimat”.

Ajaran Tarekat Syadzili murni didasarkan pada Qur’an dan al-hadits dengan penekanan pada kandungan metafisik dan ruhani dari ajaran Tauhid. Salah satu ciri menonjol dari tarekat Syadizliyyah ini adalah beliau tidak memisahkan tarekatnya dari kehidupan keduniawian secara ekstrim. Mereka juga tidak mengenakan baju yg unik untuk menonjolkan dirinya. Syekh Syadzili sendiri tidak selalu mengenakan baju kumuh atau sederhana, tetapi bahkan terkadang beliau mengenakan pakaian yg indah dan mahal. Anggota tarekat Syadziliyyah diwajibkan mencari nafkah melalui profesi yg mereka bisa, entah itu sebagai pedagang, tabib, pejabat negara, dan sebagainya.Mereka dilarang melarikan diri dari kehidupan duniawi, atau eskapisme, dan lebih baik mereka menempuh jalan ruhani di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat. Karena pada dasarnya tarekat Syadiziliyah ini lahir di lingkungan urban, maka ajarannya terutama menarik banyak kalangan profesional dan cendekiawan, sehingga menampakkan warna tarekat yg lebih tenang, intelektual dan penuh perenungan. Di kawasan mesir dan Afrika pada umumnya, Abu Hasan Syadzili, dan juga dua penerus terbesarnya, Syekh Abu Abbas Mursi dan Ibn Athaillah al-Askandari, adalah terkenal sebagai pembela utama ajaran Tasawuf pada umumnya, dan ajaran wahdat al-wujud Ibn Arabi pada saat itu, terutama dari serangan dari salah seorang ulama yg juga terkenal pada masa itu, Ibn Taimiyyah.

Tinggalkan komentar